Kisah Shalat Orang-orang yang Khusyuk

Khusyuk adalah buah iman. Khusyuk adalah hasil dari keyakinan seorang hamba akan keagungan Allah yang Mahatinggi lagi Mahamulia. Seseorang yang mendapat anugerah ini, maka ia akan dapat mengaplikasikannya dalam setiap keadaan; dalam sholat maupun diluar sholat. Sudahkah Anda termasuk orang-orang yang khusyuk? 


Khusyuk timbul saat seseorang mengetahui bahwa Allah senantiasa mengawasi hamba-hamba-Nya, menyadari keagungan-Nya, serta menyadari kelemahan dirinya. Saat kita sadar Allah sedang mengawasi kita, apakah kita berani untuk bermain-main dihadapanya, ketika kita sadar betapa agung Tuhan kita apakah masih ada perasaan menduakan-Nya, saat kita sadar begitu banyak kelemahan dalam diri kita apakah kepala kita akan tetap tegak menyombongkan diri dihadapannya. Dari ketiga kesadaran ini rasa khusyuk bersemi –dan tidak hanya terbatas dalam mendirikan sholat saja. 

Diriwayatkan ada orang yang tidak menegadahkan kepalanya selama 40 tahun, karena merasa malu dan sungkan kepada Allah. Karena selalu menunduk dan menjaga pandangan, orang mengira Ar-Rabi’ bin Haitsam buta. Selama 20 tahun, Ar-Rabi’ mengunjungi rumah Ibnu Mas’ud, dan setiap kali budak sahaya dari Ibnu Mas’ud melihatnya, lantas ia berkata, “Sahabatmu yang buta, datang.” Ibnu Mas’ud hanya tersenyum mendengar ucapan sahayanya tadi. Setiap kali sahaya dari Ibnu Mas’ud membukakan pintu untuk Ar-Rabi’, ia pasti mendapati Ar-Rabi’ menundukkan kepala. Dan setiap kali melihatnya seperti itu, Ibnu Mas’ud selalu berkata, “Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah). (QS Al-Hajj 22: 34) Aku bersumpah, Nabi Muhammad saw pasti gembira jika beliau melihatmu.”

Suatu hari, Ar-Rabi’ bersama Ibnu Mas’ud berjalan melalui bengkel pandai besi. Ketika melihat api berkobar dahsyat setelah ditiup para pandai besi, Ar-Rabi’ langsung pingsan. Ibnu Mas’ud menungguinya hingga waktu sholat, tapi Ar-Rabi’ belum juga siuman. Ibnu Mas’ud lalu menggendongnya ke rumah. Ar-Rabi’ pingsan hampir sehari-semalam, hingga melewatkan sholat lima waktu. “Sumpah, inilah yang disebut rasa takut,” gumam Ibnu Mas’ud.  Ar-Rabi’ berkata, “Setiap kali aku mendirikan sholat, hatiku selalu risau dengan perkataan yang kuucapkan, dan yang akan diucapkan orang padaku.”
***
Amir bin Abdullah dikenal khusyuk dalam mendirikan sholat. Ia sama sekali tidak mendengar dan tak peduli dengan putrinya yang sering menabuh rebana dan istrinya yang membicarakan sesuatu. Suatu hari ia ditanya, “Adakah jiwamu membisikkan sesuatu saat kau mendirikan sholat?”
“Benar. Ia mengingatkan aku kalau aku berada di hadapan Allah, dan akan segera menuju akhirat.”
“Pernahkan urusan duni terbesit di benakmu, sebagaimana yang sering kami alami?”
“Aku lebih rela tubuhku terkoyak ole ujung tombak, daripada mengalami seperti yang kalian alami. Seandainya tirai dunia tersingkap, keyakinanku terhadapnya tak akan bertambah,” tegas Amir.
***
Abu Darda’ berkata, “Ciri orang yang memahami pentingna sholat, adalah dia yang menyelesaikan segala urusan sebelum mendirikan shalat, agar ketika memulai shalat, hatinya kosong tanpa beban sama sekali.”
***
Hadirkan Hati Ketika Shalat            
Hadirkan semua kejelekan dan aib di benak kita. Dorong diri kita untuk menutupinya. Kita harus yakin bahwa hanya penyesalan, rasa malu, dan takut yang menjadi sarana untuk menutupinya dari pandangan Allah  SWT. Dengan menghadirkan kejelekan dan aib dalam benak, rasa takut dan malu pasti berhamburan keluar dari markasnya, dan dengan bantuannya kita akan  merendahkan diri dengan tenang di bawah naungan rasa malu. Kita akan berdiri dihadapan Allah laksana seorang budak yang menyadari dan menyesali segala kesalahan kita. Insyaallah, dengan begitu kita akan bisa mendapatkan kenikmatan dalam sholat, kedekatan kepadanya saat mengucapkan Allahuakbar, kita akan merasakan betapa banyak hal yang lupa kita syukuri. “Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kau dustakan.” (Ar-Rahman 55: 13)

Terima kasih sudah membaca, semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jangan lupa, TINGGALKAN JEJAK ya!
 
Sumber: Buku Iman Al-Ghazali.

Komentar