MUKADIMAH
Proklamasi/ drama revolusi dalam sebuah teater waktu/ dengan latar zaman dan matahari// Jadilah sang putra fajar/ Sukarno/ dan seorang non-Jawa/ Hatta/ 70 tahun lalu sumpah berikrar//
Proklamasi juga sebuah novel panjang/ dengan rakyat sebagai pengarang// Ada pertentangan golongan
tua dan muda/ yang sekali waktu Sukarno-Hatta diculik karenanya//
Ada cerita/ tentang sang saka yang dijahit sendiri oleh Fatmawati/ tanggal 17 Agustus yang penuh
pesan mitologi//
ISI
Kibarannya membanggakan.
Merah-Putih berkibar gagah di tiang bambu di depan rumah kayu.
Rumah itu berlokasi di tepi rel kereta tak jauh dari Stasiun Jatibarang, polos tanpa polesan material mewah.
Pemiliknya jelas masih miskin.
Seakan dia kirim pesan bagi ribuan penumpang kereta yang tiap hari lewat di depan rumahnya:
Kami juga pemilik sah republik ini.
Kami percaya di bawah bendera ini kami juga akan sejahtera!
Yang miskin telah menyatakan cinta dan bangga kepada negerinya.
Keseharian hidupnya mungkin sulit, mungkin tak punya tabungan di bank.
Tetapi tabungan cintanya kepada republik ini luar biasa banyak.
Negeri ini masih dicintai dan dibanggakan rakyatnya tanpa syarat.
Negeri ini dibangun dengan ikatan janji, meski sampai kini belum semua terlunasi.
Republik hadir untuk melindungi, menyejahterakan, dan mencerdaskan rakyatnya serta memungkinkan mereka berperan dalam tataran dunia.
Itu bukan sekadar cita-cita.
Kini bendera itu sudah tegak, makin tinggi, dan di bawah kibarannya, janji kemerdekaan harus dilunasi.
Mari kita renungkan kehadiran kita dalam upacara bendera 17 Agustus hari ini.
Saya dan teman-teman sekalian menyanyikan “Indonesia Raya”.
Bendera itu naik ke atas, mungkin perlu waktu 3-4 menit sampai selesai.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Para pendiri Republik hibahkan seluruh waktunya, hibahkan tenaganya.
Semua yang dimiliki puluhan tahun dihibahkan untuk membuat bendera itu naik ke atas.
Kita melakukannya 3-4 menit dan selesai.
Kalau kita tidak menengok lagi apa yang dulu dilakukan sehingga kita bisa menaikkan bendera itu 3 menit, kita lupa bahwa Republik ini dibangun lewat iuran.
Republik ini dibangun lewat turun tangan semua orang.
Semua orang melakukan yang mereka bisa kerjakan.
Supaya bendera itu bisa tegak berdiri.
Supaya kita bisa mengatakan, “Kami bangsa yang merdeka.”
Supaya kita bisa meraih keadilan dan kesejahteraan untuk semua.
Keberhasilan itu adalah modal yang luar biasa.
Perasaan berhasil harus dijaga.
Bayangkan di kampung kecil pinggiran kota, di rumah kayu ala kadarnya juga temaram listrik seadanya.
Beberapa orang bersila di atas tikar membincangkan rencana perayaan kemerdekaan di kampungnya.
Mereka belum sejahtera dan mereka akan merayakan kemerdekaan!
Perayaan kemerdekaan bukan sekadar pengingat gelora perjuangan.
Merayakan kemerdekaan adalah meneguhkan janji.
Wujudkan impian pemilik rumah kayu itu, yang menerawang kibaran Merah-Putih di rumahnya sambil tersenyum membayangkan bahwa dia dan anak-cucunya akan tersejahterakan dan tercerdaskan.
"Di saat Indonesia dirayakan kemerdekaannya, kita pun terlibat untuk membuat bangsa kita lebih
bangga atas prestasi-prestasinya"
SEBUAH CATATAN
Manusia terjebak dalam pusaran sejarah, tapi manusia sendiri adalah jebakan bagi sejarah.
Indonesia tidak terbuat dari kebanggaan yang sama, tapi kesamaan nasib anak bangsanya.
Terbangun dari rasa memiliki, anak bangsa yang berjanji untuk peduli.
Di tanah kita agama dan tradisi saling memberi arti, membuka peluang untuk saling menghargai.
Indonesia negara hebat, pelaku demokrasi yang melesat cepat.
Mari menjaga yang kita miliki, membangun tradisi baru yang bersih dari korupsi.
Mengawal keras jalannya demokrasi, mengubah watak kekuasaan untuk lebih mengabdi.
Negara akan kuat senantiasa, saat rakyatnya terdidik untuk berdaya.
Jika sejarah menuju lebih sempurna, Indonesia yang jaya sudah di depan mata.
17 Agustus 2015 | Pidato Siswa SMKN 48 Jakarta Referensi: Mata Najwa, Situs Resmi Anies Baswedan, dan Turun Tangan. org
Komentar
Posting Komentar