Berita duka menyelimuti dunia hukum Indonesia. Pengacara senior yang kerap dipangil Abang itu meninggal dunia di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan, Rabu (23/9/2015) sekitar pukul 10.15 WIB. Kabar tersebut dibenarkan oleh salah satu putri almarhum, Pia Akbar Nasution.
Adnan Buyung Nasution diketahui mulai dirawat sejak pekan lalu. Pia sebelumnya menuturkan bahwa Adnan Buyung dirawat di rumah sakit awalnya karena mengalami sakit pada giginya.
Pengacara senior kelahiran 20 Juli 1934 itu sudah menderita gagal ginjal sejak Desember 2014 kemudian harus mengalami perawatan lebih lanjut setelah menjalani pencabutan gigi.
Source: Berbagai media online
Cerita Perkenalan Saya Dengan Almarhum
Ya, Anda bisa melihat bahwa latar belakang dari gambar di atas adalah gambar sebuah buku yang tak lain ditulis sendiri oleh Bapak Buyung Nasution yang berjudul Nasihat Untuk SBY, yang saat itu diluncurkan di Hotel Pullman, Jakarta.
Mungkin terbesit dalam benak pembaca sekelumit pertanyaan, mungkin Anda bertanya-tanya, apakah saya memiliki hubungan emosional dengan Bapak Buyung karena saya mencetak tebal cerita perkenalan saya dengan beliau? Apakah sebelumnya saya sudah pernah bertemu dengan beliau?
Baiklah, saya berharap bahwa pembaca yang budiaman sekalian, memang bertanya-tanya atas hal itu. Maka akan saya jelaskan. Sejak awal tadi sudah saya informasikan bahwasanya peluncuran buku baru tersebut dilaksanakan di Hotel Pullman, Jakarta. Mengapa kemudian saya mempertanyakan lagi pada paragraf ini? Ya! Karena disitulah titik terbesar yang menjadi awal perkenalan saya dengan beliau.
Oh, bukan. Saya tidak menghadiri acara peluncuran buku baru tersebut. Namun, saya memiliki dan juga sudah selesai membaca buku yang judulnya mengandung inisial mantan presiden kita itu.
Peluncuran buku itu terjadi saat Kakak nomor satu saya bekerja di hotel Pullman. Saya masih belum mengerti bagaimanan ceritanya, namun saya asumsikan, Kakak saya yang notabene sebagai karyawan pada hotel tersebut mendapatkan buku geratis atas event ini. Saya sendiri belum menanyakan kebenarannya kepada Kakak saya. Sampai pada akhirnya saya mendapati buku tersebut di lemari buku-buku kuliahnya dan saya mengambilnya tanpa permisi lebih dulu.
Buku itu tidak saja kuambil untuk menjawab rasa penasaranku yang sifatnya sementara. Namun, pada beberapa bagian, berhasil mengundang simpati saya. Akhirnya selesailah buku itu saya baca.
Buku ini berisi pengalaman dan suka-duka Bapak Buyung saat menjadi anggota Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) angkatan pertama (2007-2009). Dengan menulis buku ini, sebenarnya Adnan Buyung Nasution telah melanggar aturan. Salah satu pasal Undang-Undang tentang Wantimpres menyebutkan: "Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, anggota Wantimpres tidak dibenarkan memberikan keterangan, peryataan, dan/atau menyebutkan isi nasihat dan pertimbangannya kepada pihak manapun."
Disitulah awal perkenalan saya dengan Bapak Buyung. Beliau menjadi tokoh hukum Indonesia pertama yang paling saya kenal dan saya kagumi. Bahkan ketika selesai membaca buku ini, saya pernah bercita-cita untuk bisa menjumpai beliau. Namun, takdir bicara lain. Kepribadian dan sikap kritisnya terhadap pemerintahan begitu menginspirasi saya dan membuat saya belajar banyak akan penilaian suatu konflik juga sejarah kelam politik negeri ini.
Selamat jalan Bapak Buyung. Terima kasih atas karya Bapak bagi bangsa.
Sepucuk Surat dari beliau:
Anak-anak Indonesia yang Abang cintai dan banggakan,
Kita mungkin tidak pernah saling bertatap muka dan barangkali sebagian besar dari kalian ketika membaca surat ini baru pertama kalinya mengenal nama Adnan Buyung Nasution. Kita bisa jadi hidup di masa yang sama dan tempat yang berdekatan, atau hidup di masa yang sama sekali berbeda dan tempat yang berjarak: di kota-kota, dusun-dusun, pulau-pulau yang terbentang di Nusantara, atau bahkan nun jauh di negeri orang. Tapi Abang sangat yakin bahwa waktu dan jarak itu bukanlaah pemisah, karena kita telah dieratkan di dalam satu tanah air Indonesia, satu bangsa Indonesia, dan satu bahasa Indonesia, sebagaimana yang telah diikrarkan para pejuang pendahulu kita melalui Sumpah Pemuda.
Kesadaran Abang mengenai ikatan kebangsaan itu sudah muncul sejak masa kanak-kanak di Yogyakarta, pada jaman revolusi kemerdekaan. Kondisi di masa itu tentu sangat jauh berbeda dengan suasana abad ke-21 kini, ketika teknologi semakin canggih sehingga informasi pun menjadi sangat mudah diakses. Pengetahuan Abang lebih banyak bersumber dari kisah-kisah yang dituturkan Ayah. Profesi beliau sebagai jurnalis dan keterlibatannya dalam kelompok kaum pejuang pergerakan kemerdekaan (kaum Republiken), sehingga Ayah kerap melakukan perjalanan tugas ke berbagai daerah dan berjumpa dengan para tokoh pejuang yang berasal dari berbagai suku bangsa di Indonesia, dan juga orang-orang dari bangsa lain.
Dari berbagai kisah dari pengalaman Ayah itu, Abang mendapatkan satu pemahaman bahwa kita adalah bangsa besar, namun karena belum sepenuhnya terbebas dari cengkeraman kolonialisme, maka rakyat kita masih terbelakang, diperlakukan secara tidak adil, dan amat menderita karena tidak mendapatkan penghormatan dan perlakuan yang setara sebagaimana layaknya bangsa-bangsa bermartabat lainnya.
Ketika beranjak dewasa, Abang merasa sangat beruntung dan bersyukur karena berkesempatan menikmati suasana di alam kemerdekaan yang membuka kesempatan bagi anak-anak bangsa untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kesempatan itu sebelumnya amatlah langka karena hanya menjadi privilese bagi golongan keturunan Eropa dan Timur Asing. Abang memutuskan untuk mendalami ilmu hukum dengan harapan dapat memperjuangkan tegaknya hukum dan keadilan di negeri ini.
Ketika telah menjadi Jaksa dan kerap bertugas di daerah-daerah pinggiran dan luar Jakarta, Abang menyaksikan secara langsung sehingga dapat juga merasakan penderitaan rakyat kecil yang papah ketika ditimpa musibah hukum. Dari situ Abang semakin menyadari bahwa sebagian besar bangsa kita ternyata belum kunjung dapat menikmati manisnya kemerdekaan, tetap terpinggirkan, terus diperlakukan secara diskriminatif, sehingga kehidupannya amat menderita.
Ketika mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan hukum di Australia, Abang memanfaatkan peluang itu sekaligus untuk mempelajari mekanisme bantuan hukum terhadap rakyat miskin (legal aid for the poor). Sekembalinya ke tanah aair, Abang lalu menerapkan ilmu dan pengetahuan itu dengan membidani kelahiran Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang mulanya hanya di Jakarta dan kemudian berkembang ke berbagai kota-kota lainnya. LBH didirikan sebagai suatu organisasi nonprofit, namun bukanlah suatu charitable organization yang sekedar menyediakan bantuan hukum gratis (pro bono services) kepada rakyat yang tidak mampu.
Lebih dari itu, LBH memiliki strategi bantuan hukum struktural yang berangkat dari pengetahuan dan kesadaran bahwa berbagai permasalahan hukum yang menimpa rakyat kecil terutama disebabkan oleh ketimpangan bangunan sosial di dalam masyarakat kita masih feodalistik, serta terutama juga disebabkan oleh sistem otoritarianisme yang korup dan sewenang-wenang. Oleh karena itu, LBH mencoba untuk mendobrak bangunan sistem sosial tersebut sembari terus memberikan pemahaman pada rakyat kita yang sebagian besar masih belum terpelajar dan buka hukum. Upaya tersebut tidaklah mudah, bahkan mengandung risiko.
Namun tekad dan komitmen aktivis LBH memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dan Hak-Hak Asasi Manusia sudah bulat dan kokoh sehingga tiada gentar meski harus berhadapan dengan penguasa, tak surut langkah walau kerap menghadapi ancaman dan teror, juga tidak melemah oleh bujuk rayuan. Kemerdekaan Abang direnggut ketika dimasukkan ke dalam penjara. Abang kemudian juga terpaksa harus meninggalkan negeri tercinta untuk bermukim di tanah Belanda. Namun hikmahnya pun tiba, karena Abang di sana memiliki waktu dan kesempatan untuk mempelajari seluk beluk sistem ketatanegaraan kita, hingga akhirnya berhasil menempuh studi doktoral.
Anak-anak Indonesia yang Abang cintai dan banggakan,
Jaman telah berubah. Tidak sesuatu pun yang tetap dan mutlak kecuali perubahan itu sendiri. Tantangan bangsa ini di masa lalu tentu berbeda dengan di masa yang sekarang dan akan datang. Setiap generasi di bangsa ini berhak untuk membuat terobosan-terobosan baru demi mewujudkan kehidupan dan masa depan bangsa yang lebih baik lagi.
Ide ataupun gagasan pembaruan sering mendapatkan resistensi. Namun niat yang tulus dengan tekad yang kuat serta argumentasi yang rasional akan sulit diabaikan atau ditolak begitu saja. Namun demikian, pengalaman Abang membuktikan bahwa mewujudkan ide dan gagasan juga amat memerlukaan determinasi yang kuat, juga persistensi. Meski ide dan gagasan itu pada hari ini atau esok dianggap sebagai suatu yang subvertif, mungkin lusa dan di kelak kemudian hari justru akan menjadi keyakinan dan motivasi ketika Abang sejak awal menolak sakralisasi UUD 1945 dan mengusulkan ide amandemen konstitusi.
Kontestasi ide dan nilai-nilai tertentu akan terus berlangsung sebab bangsa kita ini sungguh sangat beragam. Pertarungan wacana dan adu gagasan itu tentu harus dilakukan dengan cara yang bermartabat sebagaimana diteladankan oleh Ibu dan Bapak pendiri Republik. Ambisi pribadi dan golongan sebisa mungkin disisihkan, sebagaimana dipesankan oleh Bung Hatta, “kepentingan semuanya harus didahulukan daripada kepentingan sebagian –sebagian”. Dengan demikian, menjadi Indonesia adalah menjadi manusia yang mampu menempatkan diri sebagai bagian dari keberagaman bangsa ini, tanpa berupaya apalagi memaksakan suatu penyeragaman, dengan menahan diri untuk tidak merasa paling berhak atau paling benar.
Jakarta, 8 Agustus 2012
Prof Dr Adnan Buyung Nasution
#Menjadi Indonesia-Surat Dari & untuk Pemimpin
Adnan Buyung Nasution diketahui mulai dirawat sejak pekan lalu. Pia sebelumnya menuturkan bahwa Adnan Buyung dirawat di rumah sakit awalnya karena mengalami sakit pada giginya.
Pengacara senior kelahiran 20 Juli 1934 itu sudah menderita gagal ginjal sejak Desember 2014 kemudian harus mengalami perawatan lebih lanjut setelah menjalani pencabutan gigi.
Source: Berbagai media online
Cerita Perkenalan Saya Dengan Almarhum
Pengacara Senior Adnan Buyung Nasution menyampaikan sambutan saat
peluncuran buku barunya. (Sumber: Mediaindonesia.com) |
Mungkin terbesit dalam benak pembaca sekelumit pertanyaan, mungkin Anda bertanya-tanya, apakah saya memiliki hubungan emosional dengan Bapak Buyung karena saya mencetak tebal cerita perkenalan saya dengan beliau? Apakah sebelumnya saya sudah pernah bertemu dengan beliau?
Baiklah, saya berharap bahwa pembaca yang budiaman sekalian, memang bertanya-tanya atas hal itu. Maka akan saya jelaskan. Sejak awal tadi sudah saya informasikan bahwasanya peluncuran buku baru tersebut dilaksanakan di Hotel Pullman, Jakarta. Mengapa kemudian saya mempertanyakan lagi pada paragraf ini? Ya! Karena disitulah titik terbesar yang menjadi awal perkenalan saya dengan beliau.
Oh, bukan. Saya tidak menghadiri acara peluncuran buku baru tersebut. Namun, saya memiliki dan juga sudah selesai membaca buku yang judulnya mengandung inisial mantan presiden kita itu.
Peluncuran buku itu terjadi saat Kakak nomor satu saya bekerja di hotel Pullman. Saya masih belum mengerti bagaimanan ceritanya, namun saya asumsikan, Kakak saya yang notabene sebagai karyawan pada hotel tersebut mendapatkan buku geratis atas event ini. Saya sendiri belum menanyakan kebenarannya kepada Kakak saya. Sampai pada akhirnya saya mendapati buku tersebut di lemari buku-buku kuliahnya dan saya mengambilnya tanpa permisi lebih dulu.
Buku itu tidak saja kuambil untuk menjawab rasa penasaranku yang sifatnya sementara. Namun, pada beberapa bagian, berhasil mengundang simpati saya. Akhirnya selesailah buku itu saya baca.
Buku ini berisi pengalaman dan suka-duka Bapak Buyung saat menjadi anggota Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) angkatan pertama (2007-2009). Dengan menulis buku ini, sebenarnya Adnan Buyung Nasution telah melanggar aturan. Salah satu pasal Undang-Undang tentang Wantimpres menyebutkan: "Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, anggota Wantimpres tidak dibenarkan memberikan keterangan, peryataan, dan/atau menyebutkan isi nasihat dan pertimbangannya kepada pihak manapun."
Disitulah awal perkenalan saya dengan Bapak Buyung. Beliau menjadi tokoh hukum Indonesia pertama yang paling saya kenal dan saya kagumi. Bahkan ketika selesai membaca buku ini, saya pernah bercita-cita untuk bisa menjumpai beliau. Namun, takdir bicara lain. Kepribadian dan sikap kritisnya terhadap pemerintahan begitu menginspirasi saya dan membuat saya belajar banyak akan penilaian suatu konflik juga sejarah kelam politik negeri ini.
Selamat jalan Bapak Buyung. Terima kasih atas karya Bapak bagi bangsa.
Sepucuk Surat dari beliau:
Anak-anak Indonesia yang Abang cintai dan banggakan,
Kita mungkin tidak pernah saling bertatap muka dan barangkali sebagian besar dari kalian ketika membaca surat ini baru pertama kalinya mengenal nama Adnan Buyung Nasution. Kita bisa jadi hidup di masa yang sama dan tempat yang berdekatan, atau hidup di masa yang sama sekali berbeda dan tempat yang berjarak: di kota-kota, dusun-dusun, pulau-pulau yang terbentang di Nusantara, atau bahkan nun jauh di negeri orang. Tapi Abang sangat yakin bahwa waktu dan jarak itu bukanlaah pemisah, karena kita telah dieratkan di dalam satu tanah air Indonesia, satu bangsa Indonesia, dan satu bahasa Indonesia, sebagaimana yang telah diikrarkan para pejuang pendahulu kita melalui Sumpah Pemuda.
Kesadaran Abang mengenai ikatan kebangsaan itu sudah muncul sejak masa kanak-kanak di Yogyakarta, pada jaman revolusi kemerdekaan. Kondisi di masa itu tentu sangat jauh berbeda dengan suasana abad ke-21 kini, ketika teknologi semakin canggih sehingga informasi pun menjadi sangat mudah diakses. Pengetahuan Abang lebih banyak bersumber dari kisah-kisah yang dituturkan Ayah. Profesi beliau sebagai jurnalis dan keterlibatannya dalam kelompok kaum pejuang pergerakan kemerdekaan (kaum Republiken), sehingga Ayah kerap melakukan perjalanan tugas ke berbagai daerah dan berjumpa dengan para tokoh pejuang yang berasal dari berbagai suku bangsa di Indonesia, dan juga orang-orang dari bangsa lain.
Dari berbagai kisah dari pengalaman Ayah itu, Abang mendapatkan satu pemahaman bahwa kita adalah bangsa besar, namun karena belum sepenuhnya terbebas dari cengkeraman kolonialisme, maka rakyat kita masih terbelakang, diperlakukan secara tidak adil, dan amat menderita karena tidak mendapatkan penghormatan dan perlakuan yang setara sebagaimana layaknya bangsa-bangsa bermartabat lainnya.
Ketika beranjak dewasa, Abang merasa sangat beruntung dan bersyukur karena berkesempatan menikmati suasana di alam kemerdekaan yang membuka kesempatan bagi anak-anak bangsa untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kesempatan itu sebelumnya amatlah langka karena hanya menjadi privilese bagi golongan keturunan Eropa dan Timur Asing. Abang memutuskan untuk mendalami ilmu hukum dengan harapan dapat memperjuangkan tegaknya hukum dan keadilan di negeri ini.
Ketika telah menjadi Jaksa dan kerap bertugas di daerah-daerah pinggiran dan luar Jakarta, Abang menyaksikan secara langsung sehingga dapat juga merasakan penderitaan rakyat kecil yang papah ketika ditimpa musibah hukum. Dari situ Abang semakin menyadari bahwa sebagian besar bangsa kita ternyata belum kunjung dapat menikmati manisnya kemerdekaan, tetap terpinggirkan, terus diperlakukan secara diskriminatif, sehingga kehidupannya amat menderita.
Ketika mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan hukum di Australia, Abang memanfaatkan peluang itu sekaligus untuk mempelajari mekanisme bantuan hukum terhadap rakyat miskin (legal aid for the poor). Sekembalinya ke tanah aair, Abang lalu menerapkan ilmu dan pengetahuan itu dengan membidani kelahiran Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang mulanya hanya di Jakarta dan kemudian berkembang ke berbagai kota-kota lainnya. LBH didirikan sebagai suatu organisasi nonprofit, namun bukanlah suatu charitable organization yang sekedar menyediakan bantuan hukum gratis (pro bono services) kepada rakyat yang tidak mampu.
Lebih dari itu, LBH memiliki strategi bantuan hukum struktural yang berangkat dari pengetahuan dan kesadaran bahwa berbagai permasalahan hukum yang menimpa rakyat kecil terutama disebabkan oleh ketimpangan bangunan sosial di dalam masyarakat kita masih feodalistik, serta terutama juga disebabkan oleh sistem otoritarianisme yang korup dan sewenang-wenang. Oleh karena itu, LBH mencoba untuk mendobrak bangunan sistem sosial tersebut sembari terus memberikan pemahaman pada rakyat kita yang sebagian besar masih belum terpelajar dan buka hukum. Upaya tersebut tidaklah mudah, bahkan mengandung risiko.
Namun tekad dan komitmen aktivis LBH memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dan Hak-Hak Asasi Manusia sudah bulat dan kokoh sehingga tiada gentar meski harus berhadapan dengan penguasa, tak surut langkah walau kerap menghadapi ancaman dan teror, juga tidak melemah oleh bujuk rayuan. Kemerdekaan Abang direnggut ketika dimasukkan ke dalam penjara. Abang kemudian juga terpaksa harus meninggalkan negeri tercinta untuk bermukim di tanah Belanda. Namun hikmahnya pun tiba, karena Abang di sana memiliki waktu dan kesempatan untuk mempelajari seluk beluk sistem ketatanegaraan kita, hingga akhirnya berhasil menempuh studi doktoral.
Anak-anak Indonesia yang Abang cintai dan banggakan,
Jaman telah berubah. Tidak sesuatu pun yang tetap dan mutlak kecuali perubahan itu sendiri. Tantangan bangsa ini di masa lalu tentu berbeda dengan di masa yang sekarang dan akan datang. Setiap generasi di bangsa ini berhak untuk membuat terobosan-terobosan baru demi mewujudkan kehidupan dan masa depan bangsa yang lebih baik lagi.
Ide ataupun gagasan pembaruan sering mendapatkan resistensi. Namun niat yang tulus dengan tekad yang kuat serta argumentasi yang rasional akan sulit diabaikan atau ditolak begitu saja. Namun demikian, pengalaman Abang membuktikan bahwa mewujudkan ide dan gagasan juga amat memerlukaan determinasi yang kuat, juga persistensi. Meski ide dan gagasan itu pada hari ini atau esok dianggap sebagai suatu yang subvertif, mungkin lusa dan di kelak kemudian hari justru akan menjadi keyakinan dan motivasi ketika Abang sejak awal menolak sakralisasi UUD 1945 dan mengusulkan ide amandemen konstitusi.
Kontestasi ide dan nilai-nilai tertentu akan terus berlangsung sebab bangsa kita ini sungguh sangat beragam. Pertarungan wacana dan adu gagasan itu tentu harus dilakukan dengan cara yang bermartabat sebagaimana diteladankan oleh Ibu dan Bapak pendiri Republik. Ambisi pribadi dan golongan sebisa mungkin disisihkan, sebagaimana dipesankan oleh Bung Hatta, “kepentingan semuanya harus didahulukan daripada kepentingan sebagian –sebagian”. Dengan demikian, menjadi Indonesia adalah menjadi manusia yang mampu menempatkan diri sebagai bagian dari keberagaman bangsa ini, tanpa berupaya apalagi memaksakan suatu penyeragaman, dengan menahan diri untuk tidak merasa paling berhak atau paling benar.
Jakarta, 8 Agustus 2012
Prof Dr Adnan Buyung Nasution
#Menjadi Indonesia-Surat Dari & untuk Pemimpin
Komentar
Posting Komentar