Edisi Malam Jumat

Hai, blog! Aku ingin bercerita pada engkau. Ini sungguh membuatku lucu. Aku heran, apa kau sama herannya denganku? Aku punya satu adik. Sungguh bersyukur hanya satu. Sungguh tak mengerti akan seperti apa kejadiannya kalau punya banyak adik dan modelnya seperti yang sudah ada sekarang.

Sekarang ini aku tengah menikmati Kamis malam dengan mengerjakan hobiku, yaitu menulis. Aku menulis sebuah novel untuk kuikutkan dalam sebuah lomba yang deadline-nya sampai awal bulan depan. Sebelumnya aku sedang ada di kamarku saat mengerjakan tulisan itu. Karena sungguh ini sudah zaman modern jadi aku menulis menggunakan computer jinjingku. Namun, kekuatan computer ini yang berada pada baterainya, mulai merasa lemah, karena sedari sore sudah begitu berjasa menuruti kemauan tuannya. Yang jadi masalah, di kamarku sedang tidak ada stop kontak yang bisa kuambil energinya untuk disambungkan pada komputerku ini. Aku mulai panik dan agak gegabah. 

Akhirnya aku pindah ke ruang depan. Yang di ruangan itu terdapat TV yang sedang menyala dan juga ada adikku yang tengah belajar sambil menonton. Aku tidak yakin sih dia belajar sambil menonton, kayanya sebaliknya deh, menonton sambil belajar. Soalnya aku lihat dia lebih serius memberikan perhatiannya untuk menonton ketimbang kepada bukunya. Aku ya aku. Aku selalu saja ingin menang atas apa yang sungguh-sungguh sedang genting. Jangan harap kau mampu meluluhkanku saat aku sudah merasa begitu terdesak. Jangan harap. Bahkan sekalipun. Karena aku sulit mengalah dalam situasi demikian. Jadi yang kulakukan saat itu adalah mencolokan pengisi daya pada stop kontak di ruang depan dan bersamaan dengan itu aku raih remot TV dan menekan tombol on/off. Ya, semua berjalan mulus begitu saja. Tak ada teriakan protes sama sekali. Kukira adikku sudah cukup bijaksana mengerti karakter kakaknya. Yang sama sekali tidak bisa akrab ketika sedang mengerjakan tugas sambil berduet dengan televisi yang menyala. Aih, sungguh manis dia kalau sedang seperti itu.

Tidak lama, selang beberapa detik aku memfariasikan pandanganku. Wow. Ternyata ada mata yang tengah tajam mengintaiku. Lebih tepatnya tatapan mata yang penuh dengan dendam dan kekesalan yang tak tertahankan. Ya, adikku seperti orang yang lebih tua dari aku dan mengekspresikan dirinya seperti tengah meleraiku yang sedang bertingkah seperti anak kecil. Hahaha. Sungguh aku ingin tertawa melihatnya. Tapi tidak. Aku harus tetap menjaga pencitraan ini, menjadi mbak yang serius dan menakutkan juga tegas atas apa yang sudah dipiliihnya. 

Tiba-tiba tangannya mendekati ke arahku. Ku kira ia akan mengambil remot yang berada dekat deganku untuk kembali menghidupkan TV. Aku pun yang peka dengan hal itu seraya bergerak lebih cepat untuk mengambil kembali remot tersebut, dan alhasil bukan remot yang aku raih namun malah power bank yang kudapatkan. Karena sesungguhnya keberadaan remot ada di sebelah kanan tanganku, dan aku malah meraihnya dengan tangan kiri ke arah sebelah kiri pula. Aku malu. Ternyata yang ingin diraih adikku itu adalah buku tulisnya yang berada di sebelah kiri tanganku. Oh, Tuhan. Harus kusembunyikan dimana wajahku yang manis ini.

Dengan sikap seperti lebih dewasa dariku, ia kemudian berdiri dengan semua buku-bukunya. Dan tiba-tiba…

Gelap. Aku hanya bisa melihat cahaya dari komputer jinjing dan telepon pintarku serta lampu dari halaman luar dan cahaya dari kamar. Ya, adikku yang sok cantik itu –ya dengan berat hati aku bilang kalau dia jauh lebih canik dan putih dariku, dan kita sama sekali tidak seperti kakak beradik, dia mematikan lampu ruang tamu. Oh, ingin rasanya aku melemparinya dengan tumpukan novel yang tengah ada di tanganku. Tapi aku tidak melakukannya. Karena itu akan menjadi buruk. Soalnya Pak Lik-ku -atau orang Jakarta sering menyebut adik dari Bapak/Ibu dengan sebutan Om, sedang tidur di kursi di hadapanku. Jika aku lempar adikku dengan novel yang akan terjadi adalah Adikku akan berteriak dan Pak Lik-ku akan terbangun. 

Huh, betapa aku harus memiliki kesabaran ekstra untuk menghadapi tingkah kekanak-kanakkan adikku ini. Adik yang baru saja lulus Ujian Nasional SD dan yang sekarang, aku ini sebagai kakanya juga berstatus alumni dari SMP yang ia tempati sekarang ini. Ya, SMPN 27 Jakarta. Hem, sebenenrnya dengan dia sekolah di sekolah yang sama pernah kucicipi sebelumnya ini, membuat hubunganku dengannya sedikit lebih dekat. Karena aku ini kan introvert, aku merasa lebih nyaman berada di samping teman ketimbanng anggota keluarga, jadi kurasa itu adalah hal yang baik. 

Ya, dalam hal ini aku juga tidak bisa menganggap diriku yang paling benar. Aku seharusnya tak bersikap demikian juga padanya. Seharusnya tadi aku meminta persetujuannya dulu untuk mematiakn TV, dan bilang kalau aku tidak bisa mengerjakan tugas dengan berkolaborasi bersama keributan di TV. Hem, semoga di hari-hari kedepan aku bisa menjadi kakak yang lebih baik dan lebih bisa mencari cara untuk mematikan TV saat aku harus mengerjakan tugas di ruang tamu. Hahaha. Maafkan kakamu ya adikku sayang. :P

Komentar