Jakarta, Maret 2014
Hai Blog! Aku ingin bercerita pada engkau. Bukan! Ini bukan
soal Kevin Lucas atau teteman Kevin. Hah? Bukan! Bukan juga tentang Idul Qurban di 48 hari ini. Ini adalah soal kenanganku dengan hanphone-ku yang terkena musibah. Aku bingung ingin bercerita pada siapa, biarpun sudah lama aku tetap ingin menceritakannya. Tenang, kau memang teman curhat
yang begitu kupercaya, kau begitu mampu menjaga rahasia. Kau memang hebat! Kau
tak pernah protes soalku, blog.
Baiklah, mari kita bercerita. Jumat sore itu, sungguh langit
benar berkompak untuk menambah hawa hati ini semakin buruk. Suasana yang
mendung pekat ditambah suasana ruang rapat yang tegang semakin membuatku ingin
segera meninggalkan ruangan yang tak lagi muda itu.
Sore itu aku mengikuti rapat pleno yang dihadiri MPK, Pengurus OSIS dan Wakil serta Pembina yang berlangsung sepulang
sekolah, sekitar ba'da ashar. Tidak! Aku tidak benci dengan agenda ini, tidak
juga dengan mereka yang andil pada kegiatan tersebut. Tapi, aku benci, bila harus
saling men-judge satu sama lain di dalam gedung tua itu. Saling saut dari arah
kanan dan kiri, begitu egoisnya mereka, tujuan mereka toh pada akhirnya sama.
Ah! aku benci dengan sandiwara ini.
Namun, bukan itu yang ingin aku ceritakan. Bukan! Sekeluarnya
aku dan tetemanku dari ruangan rapat, saat itu aku masih berjabat tangan dengan pengurus MPK, tapi tiba-tiba tersahut suara dari luar,
seseorang mengambil aba-aba Mitra Muda. Oke, aku sudah menduga hal ini. Tapi sekali lagi
bukan ini yang ingin kuceritakan.
Setelah kami dipersilakan pulang, aku pun segera pulang. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 16.49 WIB. Di depan gerbang sekolah, nampak
banyak sudah mesin angkut manusia berderetan menunggu penumpang. Aku menaiki
salah satunya yang melewati kawasan kampungku. Awan pekat itu pun kini sudah
merintikan tetesan air yang tak begitu berarti. Tapi sesekali, percikan cahaya
yang diikuti gelegar suara langit bermunculan.
Kamu harus bisa menangkap apa yang ingin kugambarkan kali ini. Perhatikan, langit begitu gelap padahal hari belum malam. Tidak ada hujan lebat. Air dari langit hanya sesekali menetes, namun keadaan itu semakin mencekam tatkala angin yang berhembus begitu kencang dan disertai petir yang bergemuruh.
Aku sudah didalam angkutan. Duduk dibagian paling belakang, ya, aku bisa melihat apa yang ada di belakang angkutan yang tengah kunaiki.
Aku tidak sendirian kala itu. Bersama rekanku juga, Abdika Putra. Dia asik dengan telepon genggamnya, begitu pun aku. Saat sedang asik dengan telepon pintarku itu, tiba-tiba gemuruh petir sungguh mengejutkan aku dan juga penumpang yang lain. Lalu ketika keadaan mulai tenang, kembali kuperiksa kekasihku itu, hah, dia mati! Ya, telepon pintarku tidak menyala. Padahal aku yakin betul bahwa dayanya masih cukup banyak.
Aku mencoba menghidupkan kekasihku itu kembali. Semula biasa saja, namun sesaat kemudian ada yang ganjil dengan kekasihku ini. Seluruh layarnya berwarna hitam. Aku panik. Aku tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Oh, kekasihku, apa kau baik-baik saja?
Akhirnya aku diam tak bergeming dengan perasaan yang campur-aduk. Aku tidak mengkomunikasikan dengan rekanku si Abdika soal handphone-ku yang sekarat. Aku ingin segera tiba dirumah dan mengetahui lebih jauh soal apa yang terjadi pada kekasihku itu.
Ya, dua puluh lima menit kemudian aku tiba dirumahku. Aku kehujanan, pusing, tapi satu yang masih kupikirkan, apa kabar dengan kekasihku? Apakah dia baik-baik saja? Oh Tuhan.
Telepon genggamku sudah jatuh sakit akibat tersambar petir.
Dia pingsan, aku juga.
Kamu harus bisa menangkap apa yang ingin kugambarkan kali ini. Perhatikan, langit begitu gelap padahal hari belum malam. Tidak ada hujan lebat. Air dari langit hanya sesekali menetes, namun keadaan itu semakin mencekam tatkala angin yang berhembus begitu kencang dan disertai petir yang bergemuruh.
Aku sudah didalam angkutan. Duduk dibagian paling belakang, ya, aku bisa melihat apa yang ada di belakang angkutan yang tengah kunaiki.
Aku tidak sendirian kala itu. Bersama rekanku juga, Abdika Putra. Dia asik dengan telepon genggamnya, begitu pun aku. Saat sedang asik dengan telepon pintarku itu, tiba-tiba gemuruh petir sungguh mengejutkan aku dan juga penumpang yang lain. Lalu ketika keadaan mulai tenang, kembali kuperiksa kekasihku itu, hah, dia mati! Ya, telepon pintarku tidak menyala. Padahal aku yakin betul bahwa dayanya masih cukup banyak.
Aku mencoba menghidupkan kekasihku itu kembali. Semula biasa saja, namun sesaat kemudian ada yang ganjil dengan kekasihku ini. Seluruh layarnya berwarna hitam. Aku panik. Aku tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Oh, kekasihku, apa kau baik-baik saja?
Akhirnya aku diam tak bergeming dengan perasaan yang campur-aduk. Aku tidak mengkomunikasikan dengan rekanku si Abdika soal handphone-ku yang sekarat. Aku ingin segera tiba dirumah dan mengetahui lebih jauh soal apa yang terjadi pada kekasihku itu.
Ya, dua puluh lima menit kemudian aku tiba dirumahku. Aku kehujanan, pusing, tapi satu yang masih kupikirkan, apa kabar dengan kekasihku? Apakah dia baik-baik saja? Oh Tuhan.
Telepon genggamku sudah jatuh sakit akibat tersambar petir.
Dia pingsan, aku juga.
Komentar
Posting Komentar