JANGAN KAU TANYA APA MAKSUDNYA


Saya ingin menulis sebuah tulisan tentang sesuatu yang mengganjal hati saya tiap kali saya ingin menuangkan pikiran saya dalam bentuk tulisan. Entah bagaimana ceritanya lalu kemudian saya bisa duduk disini dan mengetikan kata demi kata yang sesudahnya terbentuklah sebuah kalimat-kaliamat lalu berkembang pula menjadi bentuk paragraf-paragraf.

Sebagai anak ketiga dalam keluarga , sekaligus anak perempuan tertua, saya ini bukanlah anak yang berasal dari keturunan orang-orang sastra. Faktanya, saya tak pernah mengenal betul siapa kakek dan nenek saya baik yang dari Ibu atau pun Ayah, sedikit pun tak pernah saya mengenal dekat mereka. Kakek dan nenek dari Ayahku telah meninggal dunia sejak aku berusia  empat tahun. Lalu, kakek dan nenek dari ibuku, alhamdulillah mereka dipanjangkan umurnya oleh Allah hingga saat ini, tapi aku juga tak pernah mengenal betul  bagaimana mereka. Ayahku, beliau dulu adalah seorang pengrajin kayu, membuat mebel itu lah kesehariannya, kehidupannya sangat akrab dengan kekayuan, sangat jauh dari apa itu yang disebut sastra. Ibu, beliau pun tak seberuntung ayah yang masih dapat menyelesaikan sekolah dasarnya, ibu bernasib lain, beliau hanya pernah masuk kelas beberapa kali yang barang kali hanya dalam hitungan jari di kelas satu SD. Abang pertamaku, ia selalu menjadi juara kelas paling tidak meski ia tak menempati posisi pertama di kelas pasti ia masih masuk dalam 10 terbaik di kelas. Sedari dulu ia sangat mencintai matematika, suatu mata pelajaran yang tidak cukup bersahabat denganku ketika aku kelas X dan XI. Abang keduaku ia mengambil jurusan otomotif ketika sekolah kejuruan dulu, tapi ia lebih gemar dengan komputer. Adikku? Entah lah. Aku belum melihat sesuatu yang istimewa darinya. 
 
Berulang kali aku merasa bahwa apa yang aku tulis ini sungguh-sungguh tidak penting. Aku menulis sesuatu yang hanya ingin kutulis saja. Entah apa esensinya untuk orang lain yang membaca. Aku menulis hanya untuk kubaca sendirian. Sungguh menyedihkan.  Dulu aku pernah berpikir bahwa Allah telah menganugerahkanku suatu bakat seni, yaitu menggambar. Karena nilai menggambarku selalu menjadi yang terbaik di SMP sampai-sampai aku menjuarai Lomba Melukis meskipun hanya juara II. Tapi kemudian aku galau. Bagaimana mungkin aku berbakat untuk menggambar? Sedang saya samasekali tak pernah memiliki imajinasi yang hebat soal sesuatu apalagi yang disebut dengan seni. Oh, sama sekali tidak. Kukira aku hanya terampil dalam mengambar ulang sesuatu yang pernah kulihat sebelumnya. Eitss, tapi ini berbeda dengan menjiplak dan semacamnya ya. Huh. Itu kegalauanku yang pertama, Kawan. Pernah suatu ketika aku mengambil nilai menyanyi dalam pelajaran Bahasa Indonesia, eh jangan kira menyanyi itu hanya ada adalam pelajaran seni budaya saja ya.. tidak. Semua kawan-kawanku di kelas acuh. Tak tertarik. Satu tahun kemudian di kelas VIII aku kembali harus menguji nilai bernyanyiku, kali ini lebih fatal. Aku gerogi. Salah lirik. Huft. Aku semakin yakin bahwa itu bukan bakatku. Tetapi Kawan, aku bisa memainkan gitar. Meskipun suaranya sumbang sana sini, tetapi teman-temanku dan adik perempuanku pun mengakui bahwa aku  mampu bermain gitar. Aku bingung. Apakah ini buah dari latihan bertahun-tahunku, apa karena memang Allah menakdirkanku untuk pandai bermain alat musik tetapi bukan pandai menyanyi? Ah, aku limbung dibuatnya.
Aku semakin bingung. Anugerah apakah yang Allah bakatkan dalam diriku? Menulis? Ah, mana mungkin. Perhatikan apa yang telah kutulis sedari awal tadi hingga saat ini? Apa kau mengerti? Tidak kan? Makin sedih.

Yang jelas melalui tulisan yang kutuliskan ini, ingin kusampaikan bahwa aku akan berusaha menulis sebaik mungkin. Aku tahu, untuk menjadi penulis yang hebat kita tak cukup bisa menulis tetapi kita pun perlu memilikmi apa yang disebut dengan gaya menulis. Biarlah, biarlah kumulai dengan menceritakan kisah pribadiku, yang lagi-lagi soal hidupku. Aku memiliki teman yang amat berbakat dalam hal tulis-menulis, belum lama ia memenangkan penghargaan bahkan untuk dua kateori lomba, namanya Mayangsari Putri. Aku selalu bertanya padanya, bagaimana cara menulis yang baik. Lalu dia menjawab bahwa semuanya lakukanlah secara mengalir saja. Sesederhana itu dia mengatakan. Oh, begitu, mudahnya ya.
Aku akan selalu mencoba. Aku sadar akan mimpi yang selalu kugantungkan tinggi-tinggi untuk menjajdi seorang jurnalis. Jurnalis, Kawan. Jurnalis, intelektual sekali kan kedengarannya. Jurnalis, bukan hanya soal mampu mencari berita, tetapi hal terpenting yang harus dikuasai oleh mereka adalah menulis yang baik. Aku sudah sering belajar soal teori menulis berita yang baik. Tapi tampaknya tepat sekali bahwa untuk belajar menulis tidak jauh beda dengan belajar berenang. Kita tak akan pernah bisa bila tak langsung terjun dan melatihnya. 

Yaa, menulis dapat dilakukan oleh siapa saja yang dapat membaca dan mengerakan tangan untuk menulis sesuatu lisan. Soal seberapa baik yang ditulisnya adalah seberapa besar semangatnya untuk menjadi lebiuh baik dalam memadukan tiap tiap kata dan seberapa jujur ia menulisnya.
Sekian dulu kawan tulisanku kali ini. Aku tidak percaya bahwa aku mampu menyelesaikan sesuatu yang berasal dari dalam lubuk hatiku ini. Maklumlah dan terus beri aku pembelajaran. Khob khun kha! 

Komentar