Ayah, jika dua tahun lalu seorang guru di sekolah
menengah pertama memperkenalkanku kepada rumus cara menghitung kuat arus
listrik, maka jangan kau tanyakan padaku bagaimana bunyi rumus itu hari ini.
Karena aku tak lagi mengingatnya. Ayah, jika kau tanyakan padaku apa kalimat
terakhir yang keluar dari mulut wakil kepala sekolah terakhir kali aku berjumpa
dengannya, maka maaf Ayah, aku tak bisa memberitahumu, karena aku tak juga
mengingatnya. Ayah, jika di siang hari seorang anak laki-laki mengajakku mengobrol
dan memberiku sedikit petuah soal cara bersikap, maka aku pastikan aku dapat
mengatakan sesuatu padamu. Ya, karena aku masih ingat. Karena kalimat yang
tertumpahkan dari anak laki-laki itu kumasukkan dalam hatiku, sehingga membuat
kalimat magis itu terus ada dalam hati dan kepalaku.
Sebagai ayah yang amat hebat, kau menghidupiku dengan cara yang hebat pula, Ayah. Aku mengaku tak mengenal jauh soal dirimu, karena bagiku waktu sepuluh tahun menjadi bagian dari hidupmu, itu tidak ada apa-apanya. Kau hanya pernah menjadi ayah saat aku menangis karena jatuh tersandung batu, kau menjadi ayah yang sangat mendamaikan saat aku berkelahi dengan teman kecilku, kau menjadi ayah saat aku tak paham soal pembagian dalam mata pelajaran matematika, kau menjadi ayah saat aku tak kunjung pandai menulis huruf latin. Bahkan kau menjadi ayah saat aku masih belum pandai membaca Al-Quran, saat aku belum meneggakkan sholat lima waktu, saat aku masih bisa menyaksikan turnamen sepak bola antar dusun bersamamu. Aku tak lagi bisa memanggilmu ayah saat aku dalam situasi pelik, tak lagi bisa mengadu padamu kalau-kalau ada orang lain berbuat jahat padaku selama aku duduk dibangku sekolah menengah, kau tak lagi ada saat aku tengah sakit, Ayah.
Tenanglah ayah, tenanglah. Aku selalu baik-baik saja. Kau selalu ada kok. Sungguh. Kau selalu ada dalam hati ini. Ayah, dalam doa kusebut kau tanpa jeda, semoga Allah senantiasa berimu bahagia. Aku kangen, Yah.
Mungkin
rumus itu tak lagi kuingat karena jalan untuk menemukan sebuah angka-angka
magis itu takku masukkan dalam hati dan kepalaku. Mungkin juga isi
perbincanganku dengan wakil kepala sekolah itu bisa tak tersimpan dalam memori
bahwa karena pertemuanku dengannya sama sekali tak berkesanuntukku sendiri. Tapi entahlah, biarkan saja toh itu tak penting.
Ayahku sayang, jika di suatu sore ada seorang laki-laki menulis bahwa ia muak dengan sikapku, maka kau, aku dan dunia ini tahu bahwa laki-laki itu bukan engkau, Ayah. Orang itu sama sekali bukan dirimu. Ayah, jika pada suatu malam ada seorang laki-laki menuliskan kata tak baik untukku, maka aku pastikan itu pun juga bukan dirimu. Ayah, kau tahu, air mataku turun terjatuh saat menulis catatan perih nan tak tertangguhkan ini.
Ayah, saat aku menjemput ingatan akan sebuah kisah yang hebat soal aku dan laki-laki yang jauh lebih hebat, maka aku akan menangis haru kerena kudapati sebuah kebahagiaan yang menguatkan. Sungguh aku ingin mengulang saat-saat hebat itu lagi bersama laki-laki hebat itu. Aku rindu berbicara dengannya, aku rindu memandang jauh tawanya, aku rindu hangat dekapnya, aku rindu kehidupannya yang bagiku sebuah ketentraman, kedamaian, kehangatan, kebersahajaan. Aku tak lagi kuasa menahan rindu akan kasih sayang hebat yang tak pernah kudapat dari siapa pun selain darinya.
Ayah, akan ku katakan padamu, bahwa akulah anak perempuan yang paling bahagia di dunia ini karena memilikinya. Aku lah anak perempuan yang paling beruntung disayangi dangan kekuatan cinta amat tulus dari laki-laki hebat itu.
Tetapi Ayah, laki-laki itu pergi bersama kepergianmu. Perbincanganku bersama laki-laki itu seketika hilang bersama kepulanganmu, tawa laki-laki itu hilang bersama berhentinya tawamu, dekapannya yang luar biasa, pun hilang bersama hangat dekapmu, Ayah. Kehidupan, cinta, dan ketulusannya hilang bersama hidup, cinta dan ketulusan yang kau berikan padaku. Ayah, kuperkenalkan laki-laki itu padamu, ialah yang selalu menghapus pedih tangisku, ia yang selalu menjadi penyejuk hatiku setelah kekasih sejatiku, Allahurobbi. Laki-laki itu, laki-laki terhebat yang pernah kukenal seumur hidupku.
Jika bukan karena ia, mungkin tak kan pernah aku berani untuk bermimpi besar, takkan sekeras ini semangatku untuk mau belajar, tak akan pernah setulus ini aku mencintai adik dan abang-abangku. Ayah, kusebut ia, ialah dirimu Ayah, Ayah terhebat di dunia.
Ayahku sayang, jika di suatu sore ada seorang laki-laki menulis bahwa ia muak dengan sikapku, maka kau, aku dan dunia ini tahu bahwa laki-laki itu bukan engkau, Ayah. Orang itu sama sekali bukan dirimu. Ayah, jika pada suatu malam ada seorang laki-laki menuliskan kata tak baik untukku, maka aku pastikan itu pun juga bukan dirimu. Ayah, kau tahu, air mataku turun terjatuh saat menulis catatan perih nan tak tertangguhkan ini.
Ayah, saat aku menjemput ingatan akan sebuah kisah yang hebat soal aku dan laki-laki yang jauh lebih hebat, maka aku akan menangis haru kerena kudapati sebuah kebahagiaan yang menguatkan. Sungguh aku ingin mengulang saat-saat hebat itu lagi bersama laki-laki hebat itu. Aku rindu berbicara dengannya, aku rindu memandang jauh tawanya, aku rindu hangat dekapnya, aku rindu kehidupannya yang bagiku sebuah ketentraman, kedamaian, kehangatan, kebersahajaan. Aku tak lagi kuasa menahan rindu akan kasih sayang hebat yang tak pernah kudapat dari siapa pun selain darinya.
Ayah, akan ku katakan padamu, bahwa akulah anak perempuan yang paling bahagia di dunia ini karena memilikinya. Aku lah anak perempuan yang paling beruntung disayangi dangan kekuatan cinta amat tulus dari laki-laki hebat itu.
Tetapi Ayah, laki-laki itu pergi bersama kepergianmu. Perbincanganku bersama laki-laki itu seketika hilang bersama kepulanganmu, tawa laki-laki itu hilang bersama berhentinya tawamu, dekapannya yang luar biasa, pun hilang bersama hangat dekapmu, Ayah. Kehidupan, cinta, dan ketulusannya hilang bersama hidup, cinta dan ketulusan yang kau berikan padaku. Ayah, kuperkenalkan laki-laki itu padamu, ialah yang selalu menghapus pedih tangisku, ia yang selalu menjadi penyejuk hatiku setelah kekasih sejatiku, Allahurobbi. Laki-laki itu, laki-laki terhebat yang pernah kukenal seumur hidupku.
Jika bukan karena ia, mungkin tak kan pernah aku berani untuk bermimpi besar, takkan sekeras ini semangatku untuk mau belajar, tak akan pernah setulus ini aku mencintai adik dan abang-abangku. Ayah, kusebut ia, ialah dirimu Ayah, Ayah terhebat di dunia.
Sebagai ayah yang amat hebat, kau menghidupiku dengan cara yang hebat pula, Ayah. Aku mengaku tak mengenal jauh soal dirimu, karena bagiku waktu sepuluh tahun menjadi bagian dari hidupmu, itu tidak ada apa-apanya. Kau hanya pernah menjadi ayah saat aku menangis karena jatuh tersandung batu, kau menjadi ayah yang sangat mendamaikan saat aku berkelahi dengan teman kecilku, kau menjadi ayah saat aku tak paham soal pembagian dalam mata pelajaran matematika, kau menjadi ayah saat aku tak kunjung pandai menulis huruf latin. Bahkan kau menjadi ayah saat aku masih belum pandai membaca Al-Quran, saat aku belum meneggakkan sholat lima waktu, saat aku masih bisa menyaksikan turnamen sepak bola antar dusun bersamamu. Aku tak lagi bisa memanggilmu ayah saat aku dalam situasi pelik, tak lagi bisa mengadu padamu kalau-kalau ada orang lain berbuat jahat padaku selama aku duduk dibangku sekolah menengah, kau tak lagi ada saat aku tengah sakit, Ayah.
Tenanglah ayah, tenanglah. Aku selalu baik-baik saja. Kau selalu ada kok. Sungguh. Kau selalu ada dalam hati ini. Ayah, dalam doa kusebut kau tanpa jeda, semoga Allah senantiasa berimu bahagia. Aku kangen, Yah.
Komentar
Posting Komentar